Komunitas Druze, sebuah kelompok etnoreligius yang tersebar di Timur Tengah, memiliki dinamika identitas agama yang kompleks dan bervariasi tergantung pada lokasi geografis mereka. Dalam sebuah video berjudul "Agama Kami adalah Islam... Kaum Unitarian Druze", seorang wanita Druze yang tinggal di Amerika Serikat menyatakan bahwa dirinya dan komunitas Druze di sana tidak lagi mengidentifikasi sebagai Muslim. Ia menjelaskan bahwa meskipun asal-usul kepercayaan Druze berakar dari Islam, evolusi ajaran dan praktik mereka telah menjauhkan komunitas ini dari identitas Muslim tradisional.
Pernyataan tersebut menyoroti perbedaan pandangan di antara komunitas Druze di berbagai negara. Di Suriah, mayoritas komunitas Druze masih mengidentifikasi diri sebagai Muslim. Hal ini berkaitan dengan sejarah dan hubungan mereka dengan masyarakat Muslim lainnya di wilayah tersebut. Identifikasi sebagai Muslim memungkinkan komunitas Druze Suriah untuk mempertahankan hubungan sosial dan politik yang stabil dengan mayoritas Muslim di negara itu.
Selain itu, identifikasi sebagai Muslim di Suriah juga memberikan perlindungan hukum dan sosial bagi komunitas Druze. Dalam konteks negara yang mayoritas penduduknya Muslim, mengidentifikasi diri sebagai bagian dari komunitas Muslim dapat mengurangi potensi diskriminasi dan marginalisasi. Hal ini juga memfasilitasi integrasi mereka dalam struktur sosial dan politik negara.
Sebaliknya, di Israel, situasinya berbeda. Pada tahun 1957, pemerintah Israel mengakui komunitas Druze sebagai kelompok etnis yang terpisah dari Muslim. Pengakuan ini memberikan otonomi tertentu bagi komunitas Druze dalam hal urusan agama dan sosial. Akibatnya, banyak anggota komunitas Druze di Israel yang tidak lagi mengidentifikasi sebagai Muslim, melainkan sebagai kelompok agama yang unik dan terpisah.
Perubahan identitas ini juga dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah Israel yang mendorong integrasi komunitas Druze ke dalam struktur negara. Misalnya, pemuda Druze diwajibkan untuk menjalani dinas militer di Israel Defense Forces (IDF), sebuah kewajiban yang tidak dikenakan pada warga Arab Muslim atau Kristen di Israel. Keterlibatan dalam militer ini memperkuat identitas nasional mereka sebagai warga Israel yang loyal, terlepas dari identitas agama mereka.
Namun, meskipun ada perbedaan identitas agama, komunitas Druze di berbagai negara tetap mempertahankan elemen-elemen inti dari kepercayaan dan tradisi mereka. Kepercayaan Druze adalah agama monoteistik yang mengintegrasikan unsur-unsur Islam, Hindu, dan filsafat Yunani. Mereka menekankan konsep reinkarnasi dan memiliki kitab suci yang dikenal sebagai "Rasa'il al-Hikmah" atau "Surat-surat Kebijaksanaan".
Di Lebanon, komunitas Druze juga memiliki dinamika identitas yang unik. Meskipun mereka mengidentifikasi sebagai Muslim, mereka memiliki struktur sosial dan politik yang otonom. Mereka memainkan peran penting dalam politik Lebanon dan memiliki perwakilan yang signifikan dalam pemerintahan.
Perbedaan identitas agama di antara komunitas Druze di berbagai negara menunjukkan bagaimana konteks politik dan sosial dapat mempengaruhi identifikasi agama dan etnis suatu kelompok. Di Suriah, identifikasi sebagai Muslim memberikan keuntungan sosial dan politik, sementara di Israel, pengakuan sebagai kelompok etnis yang terpisah memberikan otonomi dan integrasi yang lebih besar dalam struktur negara.
Namun, perbedaan ini juga menimbulkan tantangan bagi komunitas Druze dalam mempertahankan identitas dan tradisi mereka. Di Israel, meskipun mereka memiliki otonomi tertentu, beberapa anggota komunitas merasa terpinggirkan dan menghadapi tantangan ekonomi. Meskipun mereka berpartisipasi dalam militer dan dianggap loyal kepada negara, beberapa komunitas Druze di Israel merasa bahwa mereka tidak menerima investasi publik yang memadai dan tetap berada dalam kondisi ekonomi yang kurang menguntungkan.
Di sisi lain, komunitas Druze di Suriah menghadapi tantangan yang berbeda. Konflik yang berkepanjangan di negara tersebut telah mempengaruhi stabilitas dan kesejahteraan komunitas ini. Meskipun mereka mempertahankan identitas Muslim mereka, mereka harus menavigasi kompleksitas politik dan sosial di tengah konflik yang sedang berlangsung.
Secara keseluruhan, identitas agama dan etnis komunitas Druze sangat dipengaruhi oleh konteks politik dan sosial di mana mereka berada. Meskipun mereka memiliki akar kepercayaan yang sama, pengalaman dan identifikasi mereka dapat berbeda secara signifikan tergantung pada negara dan kondisi di sekitar mereka. Hal ini menunjukkan fleksibilitas dan adaptabilitas komunitas Druze dalam mempertahankan identitas mereka di tengah perubahan dan tantangan yang ada.
Penting untuk dicatat bahwa meskipun ada perbedaan dalam identifikasi agama, komunitas Druze di seluruh dunia tetap mempertahankan solidaritas dan hubungan yang kuat satu sama lain. Mereka terus merayakan tradisi dan budaya mereka, memastikan bahwa identitas unik mereka tetap hidup dan dihormati.
Dalam menghadapi tantangan globalisasi dan perubahan sosial, komunitas Druze menunjukkan kemampuan untuk menyesuaikan diri sambil tetap setia pada nilai-nilai dan kepercayaan inti mereka. Ini adalah bukti ketahanan dan kekayaan budaya mereka yang terus berkembang seiring waktu.
Dengan memahami kompleksitas identitas komunitas Druze, kita dapat lebih menghargai keragaman dan dinamika yang ada dalam masyarakat global kita. Ini juga mengingatkan kita akan pentingnya menghormati dan memahami perbedaan, serta bagaimana konteks sosial dan politik dapat membentuk identitas dan pengalaman suatu komunitas.
Sejarah
Druze adalah komunitas etnoreligius yang berasal dari Timur Tengah dan muncul pada abad ke-11 selama pemerintahan Dinasti Fatimiyah di Mesir. Kepercayaan mereka berakar dari Islam Ismailiyah tetapi berkembang menjadi ajaran yang unik dengan elemen filsafat Neoplatonisme, Hindu, dan Gnostisisme. Pendiri utama ajaran Druze adalah Hamza ibn Ali, yang bersama para pengikutnya meyakini bahwa Khalifah Fatimiyah Al-Hakim bi-Amr Allah adalah manifestasi Tuhan. Setelah Al-Hakim menghilang secara misterius pada tahun 1021, ajaran Druze dihentikan dari publikasi, dan mereka menutup komunitas mereka dari konversi baru, sehingga keanggotaan Druze hanya bisa diperoleh melalui kelahiran.
Sepanjang sejarahnya, komunitas Druze sering mengalami penganiayaan karena ajaran mereka dianggap berbeda dari Islam arus utama. Mereka terutama menetap di wilayah pegunungan Suriah, Lebanon, Palestina, dan kemudian di Israel. Selama Perang Salib, komunitas Druze di Lebanon dan Suriah berperan penting dalam perlawanan terhadap pasukan Eropa. Di era Ottoman, Druze sering kali memberontak melawan kekuasaan pusat, termasuk di bawah kepemimpinan Emir Fakhr al-Din II, yang memperluas kekuasaan Druze di Lebanon pada abad ke-16 dan ke-17.
Di era modern, komunitas Druze memainkan peran politik yang signifikan di berbagai negara tempat mereka tinggal. Di Lebanon, mereka menjadi kekuatan utama dalam politik dengan tokoh-tokoh seperti Kamal Jumblatt dan Walid Jumblatt. Di Suriah, Druze sering mendukung pemerintah pusat, terutama selama perang saudara. Sementara itu, di Israel, mereka mendapat pengakuan sebagai kelompok etnis yang berbeda dan banyak yang bergabung dengan militer Israel. Meskipun menghadapi berbagai tantangan sejarah, Druze tetap mempertahankan identitas dan tradisi unik mereka hingga hari ini.